Setiap orang pasti pernah mengalami momen lost in translation. Jangankan ketika berada di negara asing dan dalam bahasa asing, di dalam negeri dengan bahasa yang sama pun terkadang kita masih saling mempertukarkan makna yang berbeda-beda. Secara tata bahasa, lost in translation diartikan sebagai proses hilangnya sebagian dan/atau keseluruhan makna akibat proses translasi. Kalimat yang bisa dicontohkan misal kalimat dalam bahasa Jawa ‘Alon-alon waton kelakon’ yang kerap diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “Slowly but Sure.” Terjemahan ini memang dirasa benar, tapi tetap tidak bisa mewakili keseluruhan makna yang ada dalam kalimat sebelumnya. Ada makna yang kemudian hilang karena kata-kata seringkali merupakan representasi budaya, sehingga unik dan tidak bisa diterjemahkan mentah-mentah.
Contoh yang lain adalah kata dalam bahasa Swedia ‘Lagom’, yang sering diterjemahkan sebagai moderate atau cukup. Beberapa yang lain menerjemahkannya menjadi “not too much, not too little” (saya bayangkan kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia akan jadi “yang sedang-sedang saja”). Namun, menurut pengakuan penutur lokal, tidak ada satupun dari terjemahan tersebut yang benar-benar bisa menggambarkan makna asli dari lagom karena dia terikat dengan budaya dan makna yang dibagikan secara kolektif di Swedia. Beberapa kata barangkali memang diciptakan untuk tidak bisa diterjemahkan, dan kalau dipaksa justru akan membuat maknanya melenceng kemana-mana. Begitulah yang disebut dengan lost in translation menurut para ahli.
Namun, bukan lost translation dalam artian yang sebenarnya yang ingin saya bahas dalam tulisan kali ini. Yang saya maksud dengan lost in translation di sini adalah momen ketika saya bersinggungan dengan bahasa-bahasa baru yang tidak saya pahami, yang kerap membuat saya tersesat, sekaligus menemukan pengalaman dan pengetahuan baru.
Momen lost in translation pertama saya terjadi ketika saya tinggal di Australia. Saya, yang baru belajar bahasa Inggris di sekolah menengah pertama dan terbiasa dengan aksen Amerika di film dan lagu, dihadapkan dengan aksen Australia yang cepat, diseret, dan cenderung disingkat-singkat. University of Western Australia disebut “Yudab” (merujuk ke huruf U dan W). Afternoon jadi Arvo. Fremantle disebut Freo. Dan seterusnya. Terang saja saya bingung. Di minggu-minggu pertama, entah berapa kali saya bilang “I beg your pardon” atau “I’m sorry” ke lawan bicara saya karena saya tak paham apa yang mereka bilang. Belakangan saya menyadari, momen ini justru membuat saya mengembangkan apa yang disebut dengan a will to listen. Untuk menangkap aksen Australia, saya harus benar-benar memperhatikan apa yang disampaikan lawan bicara saya. Saya tidak bisa berkomunikasi dengan sambil lalu. Saya harus benar-benar mendengarkan. Satu hal yang menurut saya adalah kebiasaan baik. Karena seringnya, kita hanya mau mendengar apa yang ingin kita dengar. Maka setelah beberapa waktu, telinga saya mulai terbiasa dan satu fase lost in translation pun terlalui.
Kemudian ketika saya mengunjungi Jepang di akhir 2015, saya mengalami momen lost in translation yang kedua. Pengetahuan bahasa Jepang saya sangatlah minim, untuk tidak menyebutnya parah. Yang saya tahu hanya sebatas arigato dan sayonara (plus beberapa nama makanan enak seperti sushi, takoyaki, dorayaki dan lain-lain ). Padahal, hampir semua hal di Jepang menggunakan bahasa Jepang (ya iyalah!). Sangat sedikit yang disampaikan dalam dwi bahasa, Inggris-Jepang misalnya. Masyarakatnya pun, setidaknya yang saya temui, tidak terlalu lancar berbahasa Inggris, tidak petugas jaga di loket tiket kereta, tidak juga mas-mas yang saya temui di stasiun. Maka saya pun menghabiskan waktu setengah jam untuk mencari hotel tempat saya menginap karena papan nama hotelnya dalam Bahasa Jepang. Beruntung ada seorang ibu-ibu yang sepertinya heran melihat saya mondar-mandir melewati tokonya berkali-kali. Dia menanyakan sesuatu ke saya dalam bahasa Jepang yang saya asumsikan sebagai “Kamu lagi nyari apa?. Lalu saya pun menjawab dalam bahasa Inggris nama hotel yang saya cari. Dia jawab “Ohhh” lalu dia pun menerangkan, tetap dalam bahasa Jepang, ditambah dengan gerakan tangan, lokasi hotel yang saya cari. Anehnya, saya paham apa yang disampaikan si Ibu tersebut, bahwa hotel tersebut terletak sebelum jembatan penyeberangan. Dan benar, tak lama setelah diterangkan si Ibu, saya berhasil menemukan hotel yang saya cari. Dari situ saya kemudian menyimpulkan, bahasa itu semata-mata alat. Pemaknaan manusia jauh melampaui bahasa. Buktinya, saya dan Ibu tersebut bisa berbicara dengan bahasa masing-masing dan tetap paham (atau setidaknya merasa paham) apa yang saling dimaksud.
Kejadian dengan ibu tersebut mungkin akan saya anggap sekadar sebagai kebetulan kalau saja beberapa hari setelahnya saya tidak bertemu seorang bapak tua yang pernah bekerja di Indonesia semasa perang. Saya yang tersesat waktu itu, karena salah memilih pintu keluar stasiun bawah tanah di Osaka, tiba-tiba disapa oleh Bapak tua ini. “Indonesia? Malaysia?” tanyanya. Saya pun menjawab “Indonesia.” Lalu dia pun bertanya dengan bahasa campur-campur: Inggris, Jepang, Indonesia, dan lebih banyak bahasa isyarat, tentang apa yang saya lakukan di Jepang, apakah saya tersesat, di mana saya menginap dan akhirnya menunjukkan lokasi hotel saya. Dan sekali lagi, saya berhasil menemukan lokasi hotel saya. Saya pun semakin yakin, asal mau mendengarkan, kita bisa membangun makna yang sama meski dalam bahasa yang berbeda.
Momen lost in translation yang terbaru dan masih saya jalani hingga saat ini adalah ketika kami pindah ke Swedia. Awalnya saya mengira bahwa di sini, bahasanya akan lebih mudah daripada di Jepang. Minimal akan lebih banyak bahasa Inggris yang saya temui dan hurufnya tetap menggunakan huruf latin. Saya pun sudah mengunduh aplikasi belajar bahasa Swedia jauh-jauh hari sebelumnya. Sudah mengetahui beberapa kata meski belum bisa mengucapkannya secara benar.
Tapi tentu saja saya salah. Begitu menginjakkan kaki di Swedia, saya tarpapar oleh bahasa yang benar-benar asing di telinga saya. “Kemampuan” berbahasa Swedia saya yang katanya 10% itu (menurut aplikasi) menguap entah ke mana. Saya bahkan tak bisa melafalkan “Ursäkta” (permisi) dengan baik. Tidak hanya soal kata, aksen dan intonasinya pun lain. Sementara mayoritas informasi disampaikan dalam Bahasa Swedia. Papan penunjuk arah, label kemasan, pengumuman di bus, dan lain sebagainya.
Uniknya, ada beberapa kata dalam Bahasa Swedia yang sama tulisan dan artinya dengan Bahasa Indonesia. Misal “apotek” yang sama-sama berarti toko obat, lalu “Juni” yang sama-sama bulan keenam dalam kalender Gregorian, “rabat” yang berarti potongan harga dan kata favorit orang Indonesia “gratis” yang berarti bisa dimiliki secara cuma-cuma tanpa membayar. Maka saya memilih fokus pada persamaan yang ada. Saya tak ingin dihalangi oleh batasan bahasa yang seringkali mengaburkan kemampuan manusia dalam mencari makna. Bahasa tidak selamanya menjadi kendala. Terutama jika kita mau mendengarkan. Seperti siang lalu, saya berpapasan dengan salah satu tetangga saya yang bahasa Inggrisnya tidak terlalu lancar. Kami saling menyapa dan mengobrol dalam bahasa yang campur aduk. Tapi komunikasi tetap terjalin. Saya menyimak kata-katanya. Memastikan apa yang dia maksud. Begitu juga sebaliknya. Sehingga tercipta kesepahaman tanpa perlu dipaksakan.
Indonesia sebenarnya beruntung, karena menyerap berbagai bahasa sehingga kaya akan kosakata sekaligus memiliki kemiripan dengan bahasa lain. Kata “aroma” misalnya, bisa ditemukan juga di Italia dengan makna yang sama. Indonesia sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk beragam. Termasuk beragam sumber bahasanya. Sayangnya, tak semua orang mau menerima dan merayakan keberagaman itu.
Jika saja dalam keseharian kita mau lebih banyak mendengarkan serta fokus pada persamaan, barangkali waktu kita tidak akan banyak dihabiskan untuk saling membenci. Perbedaan “bahasa” memang bisa menyesatkan, tapi tidak harus selalu menjadi penghalang, karena saya percaya, seperti jargon sebuah buku psikologi populer yang kemudian dipakai oleh radio di Yogyakarta bertahun-tahun lalu: “Orang Mars kalau ngomong ya pakai bahasa Mars. Orang Venus kalau ngomong ya pakai bahasa Venus. Tapi sebenarnya ada satu lagi bahasa di dunia ini. Namanya: understanding.”
Source: Hayu Hamemayu